Cemara itu, jalan itu masih seperti cemara dan jalan berminggu, berbulan atau bahkan bertahun lalu. Hanya cahaya disekelilingnya yang dirasa tidak ramah menyapa. Buku tabungan itu diremas remas hingga lusuh ditangannya, lembab karena airmata yang terus mengalir dari sudut sudut matanya dan darah yang telah membeku di tangannya
“Tuhan, maafkan aku yang tak sempurna.” bisiknya, bibirnya gemetar menahan pilu yang menyayat hatinya …. “Maafkan aku Raka”, sambil matanya melirik ke jenasah suaminya yang bersimbah darah dibelakang jok mobilnya. Dia telah membunuh suami yang dicintainya.
Pilihan yang tak mudah baginya, saat dia memilih Raka sebagai suaminya. Peringatan keras dari sahabat sahabatnya yang tidak setuju, masih jernih diingatnya. Saat dia utarakan bahwa dia telah menerima lamaran Raka. Ada Ani yang memeluknya sambil menangis mengiba untuk membatalkannya, dan Lusi yang sampai berhari hari mendiamkannya, karena marah atas pilihannya. “Saya sudah bicara panjang lebar dengan Raka, dan saya rasa Raka akan berubah bersama saya. Ijinkan saya mencari pahala sebesar besarnya nantinya. Tolong dukung saya, ijinkan saya menikah dengannya” katanya mantap meyakinkan kedua teman karibnya.
Raka, siapa yang tak mengenal dia ? cowok tampan yang popular dan selalu menjadi pembicaraan gadis gadis dikampusnya. Ada yang melihatnya dari sisi positif namun tak sedikit juga yang menyibir sinis. Hampir di setiap bulan berganti, berganti juga gadis yang dipacari. Menjadi sangat luar biasa, jika kemudian ternyata antara pacar yang satu dengan lainnya terlihat ramah saling menyapa. Bahkan tak jarang Raka berdiri diantara banyak pacar pacarnya sambil bersenda gurau bersama.
Rahmah, Ani dan Lusi sering membicarakan mereka, sambil menggeleng geleng tak mengerti atas semua yang terjadi.
“Biarlah, asal dia tidak mengganggu kita dan kita tak perlu mengusik dia dan pasukannya.” Selalu itu yang disampaikan Rahmah, saat Ani dan Lusi menceritakan rasa jengkelnya atas sikap Raka dan gadis gadisnya, yang menurutnya semua sakit jiwa. \
“Yang satu bangga dengan ke-Aku-annya, sementara yang lain pemburu cinta yang sudah buta matanya.” Kata Lusi sinis,
“Iya, kalau mereka tidak saling mengenal, mereka satu kampus. Masa sih tidak pernah tahu tentang Raka ?” keras suara Ani menimpali.
“Sudahlah, biarkan saja” Rahmah memangkas kata.
Ani dan Lusi, sama sekali tidak tahu, saat kemudian Rakapun mulai mendekati Rahmah. Sms Raka yang gencar merayunya, menyadarkan dia betapa hebatnya Raka dalam mendekati gadis gadisnya. Kepadanya dia sampaikan bahwa dia adalah satu satunya kekasihnya, dan yakinlah meskipun banyak gadis bersama saya, hanya engkau cintaku satu satunya.
“Mari kita kelola hubungan ini diam diam tanpa perlu diumumkan bukan ? atau kau mau kita umumkan ?” Tanya Raka menantang
“Jangan” jawab Rahmah, sambil teringat betapa bencinya sahabat sahabat karibnya terhadap Raka. Apa kata mereka, bisiknya dalam hati.
Begitulah, waktu berlalu dengan minim bertemu, mereka berpacaran. Meskipun terlihat Raka masih dengan banyak “pasukan”nya, dia percaya bahwa cinta Raka hanya untuknya.
Saat kemudian mereka menikah, ternyata hanya setahun Raka terlihat baik dan berubah, secara kebetulan Rahmah lebih mudah mendapat pekerjaan dan Raka tidak memperolehnya. Namun Rahmah tidak pernah mempermasalahkan, baginya keberadaan Raka disisinya, cintanya, perhatiannya, cukup baginya untuk terus melangkah bersama. Keberadaan Raka memang bersamanya, tapi kembali dia harus menerima kenyataan, Raka tak berubah, Raka mulai kembali membangun “pasukan” seperti saat dia kuliah, banyak gadis yang lalu lalang mampir dikehidupannya. Pernah dia mempertanyakan kesetiaannya, bukan jawaban yang dia peroleh, Kemarahan besar yang dia dapatkan.
Kecewa, sedih yang terus menerus menghantamnya, membuat dia benar benar datar, tak lagi ada cemburu, suka, cinta lagi terhadap suaminya. Dia tak peduli lagi dengan banyaknya “pasukan” yang dibangun Raka.
Hingga dua bulan ini, Raka mulai terlihat berbeda, dengan berbagai alasan meminta Rahmah terus menerus menarik tabungannya. Sebagai bentuk kasih sayang baginya tak apa. Dia ikhlas memberikannya. Hingga saat Raka meminta kembali uang dengan alasan ingin membangun bisnisnya, berharap kesuksesannya, tanpa sepengetahuan Raka, dia menjual kalung warisan ibunya. Semoga uang ini berkah untuknya. Dilihatnya kalung yang hanya tinggal satu satunya itu dengan pandangan sedih dan berlinang air mata, dielusnya, diciuminya, dengan nyeri yang tertahan dihatinya. “Ibu, kumohonkan ijinmu, ini untuk kebaikan Raka, bu” bisiknya pilu. Diserahkan uang itu dengan seribu doa “sukseslah Raka, aku tahu kau tertekan dengan kondisimu, semoga dengan keberhasilanmu, kau akan berubah menjadi Raka seperti janji janjimu”
Hari berganti, dan bagai tersengat dia saat kemudian dia tahu Raka dihari yang sama itu, telah mendekati gadis lain lagi. Dengan degup cemas dia mencoba mencari informasi, apakah Raka juga meminta uang kepada gadis tersebut ? Apakah uang penjualan kalung yang telah diberikannya, sesungguhnya tidak cukup ? kenapa Raka tidak menyampaikannya ? kenapa dia harus mendekati gadis lainnya ? saya istrinya, apapun akan saya lakukan untuk Raka, jika dia memang membutuhkannya. Penuh benaknya dengan tanda tanya, rasa sesal karena tidak mampu “mencukupkannya”. Ternyata, tidak Raka bahkan banyak menawarkan pemberian ke gadis itu … jawaban yang sungguh diluar perkiraanya. Satu persatu dia tersadar, dia telah memenuhi banyak permintaan Raka agar Raka dapat memberi kepada gadis gadisnya, bertelphone, membagi perhatian, semuanya.
Air matanya bercucuran tak tertahankan, marah, kecewa membuatnya lupa kendali kepatutan yang ditekankan Raka terhadapnya, sudah tak dipeduli. Mengeras hatinya.
Pertengkaran hebat diantara keduanya, menjadikan hari yang takkan terlupakan.
Malam itu juga Rahmah dengan gemetar telah membunuh Raka dengan tangannya, disaat Raka tertidur, pisau tajam yang telah dipersiapkannya menancap persis ke ulu hati tubuh Raka. Muncratnya darah, membasahi wajahnya. Air mata dan darah menyatu dipipinya, mengalir memenuhi seluruh tubuhnya. Rakapun bersimbah darah,
Direngkuhnya Raka dalam peluknya, diciuminya wajah Raka yang begitu dipujanya, dikecupnya mata tajam yang perlahan meredup, dikecupnya bibir indah yang dulu sangat dirindukannya … Rahmah menangis, merintih dengan berderai derai air mata, “aku mencintaimu Raka, aku mencintaimu … kau tahu itu bukan ? sudah sangat lelah aku melihatmu terus bergumul dengan gadis gadismu, aku sudah sangat lelah diamuk rasa cemburu dihatiku, meskipun kau kata cintamu hanya untukku, tapi kau terus menebar panah asmaramu ke mereka … jika kemudian aku akhiri hidupmu, kuberharap kau tidak lagi bisa menyakiti hati siapapun, dan akupun ingin berhenti dari rasa sedihku…aku lelah Raka, aku lelah, aku sudah letakkan kepalaku untukmu, aku sudah pasrahkan cinta dan kehidupanku untuk kita, aku sudah lakukan semuanya Raka, semuanya … untuk cinta kita” tangisnya pilu sambil memeluk erat tubuh Raka yang semakin lemas.
Bekasi, 17 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar