Sabtu, 20 Juni 2009

Pemerintah Sebagai Penyelenggara Negara

Samuel Huntington terkait dengan peran masyarakat berhadapan dengan Negara, melihat bahwa tingkat kesatuan politik yang dapat dicapai oleh masyarakat mencermikan kaitan antara lembaga politik dan kekuatan-kekuatan social yang membentuknya. Kekuatan social ialah kelompok etnis, keagamaan, teritorian, ekonomis atau status. [1]

Negara sebagai suatu organisasi politik merupakan suatu sarana peraturan untuk mempertahankan tahta, menyelesaikan perselisihan, memilih tokoh-tokoh pimpinan yang memiliki wibawa, dengan tujuan menciptakan persatuan diantara dua kekuatan social atau lebih.[2]

Dua kelompok yang saling memandang kelompok lain sebagai musuh besar tidak mungkin dapat membentuk konsensus. Oleh karena itu di dalam suatu masyarakat yang kompleks kekuatan dan ruang lingkup lembaga-lembaga politik yang ada sangat mempengaruhi perilaku konsensus moral dan kepentingan timbal balik.

Kehadiran pranata politik yang berwibawa akan membantu masyarakat sanggup menentukan dan merealisir kepentingan mereka, dengan dasar moral masyarat dengan pranata politik yang lemah tidak akan mempunyai kemampuan mengendalikan tuntutan pribadi dan kelompok lain yang sangat berlebihan.

Politik sering dipersangkakan sebagai suatu kata yang “kotor”, dan sering diasosiasikan dengan perilaku-perilaku buruk dari para politisi. Perilaku itu sering dilihat sebagai usaha untuk memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan umum, dengan berbagai manipulasi. Pengertian politik yang demikian itu telah mereduksi pengertian politik itu sendiri. Sebab sesungguhnya, pengertian politik secara teoritik bukan demikian.

Untuk memahami bahwa Negara adalah lebih dari pemerintah, berdasarkan pada kenyataan bahwa Negara mencoba untuk mengontrol membatasi praktek politik masyarakat dengan membangun peraturan politik. Dengan kata lain Negara berusaha mengangkat wacana politik politik resmi.[3] Sehingga tidak ada pihak orang yang secara lepas bebas dapat menghidarkan diri dari kekuasaan yang dimiliki oleh negara.

Kejadian yang sering muncul adalah kondisi bagaimana pemerintah sebagai sebuah institusi negara paling tinggi mengambil kebijakan dalam mengelola permasalahan masyarakat.

Dari kamus “Demokrasi” berarti peraturan tentang orang-orang, dengan seketika muncul permasalahan dalam bagaimana? di dalam terminologi praktis, untuk menggambarkan orang-orang dan bagaimana cara menggambarkan arti dari aturan. orang-orang berarti keseluruhan populasi orang dewasa, atau hanya mereka yang menguasai properti cukup, berarti wanita-wanita dikeluarkan dari monopoli.

Sehingga dapat dipastikan sebuah negara yang dibentuk melalui proses demokrasi sekalipun tetap akan dapat menumbuhkan penindas – penindas baru. Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi pemerintah menuntut loyalitas, dukungan atau kewajiban untuk mematuhi hukum-hukumnya.[4]

Membaca tulisan Iris Marion Young yang menyatakan bahwa pada dasarnya gerakan emansipatory adalah sebuah gerakan yang positif dari kelompok-kelompok yang berbeda, Young menegaskan bahwa budaya demokrasi yang pluralis adalah adanya sebuah pembebasan. Artinya, secara kualitas, kelompok social dan kelompok budaya yang berbeda bebas dalam menentukan sikap, bebas untuk mendapatkan pengakuan, dan dapat saling menghormati satu sama lain tapi tetap bersatu dalam sebuah Perbedaan.

Pemerintah pusat dimengerti disini sebagai penyelenggara negara yang dipercaya sebagai pengambil kebijakan paling tinggi dalam mengelola dan mengambil kebijakan dalam seluruh wilayah sebuan negara. Oleh karena itu kebijakan yang diambil oleh pemerintah berarti kebijakan negara.

Negara berada di lapisan tertinggi yang memiliki cirri mampu memaksa terhadap masyarakat. Masyarakat dimaksud adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.

Legitimasi Negara akan terus berlangsung selama masyarakat politik dapat menerima batas-batas yang ditentukan Negara. Pelanggaran dan penarikan kembali batas-batas yang ada mengakibatkan pecahnya biografi politik masyarakat. Perpecahan ini lebih lanjut akan berakibat ditinjaunya kembali agenda yang ditetapkan Negara atau membuat Negara menjadi tidak relevan.[5]

Untuk sampai pada sebuah keputusan atau perundang-undangan dibutuhkan sebuah proses. David Easton membedakan bahwa dalam proses terdapat wilayah in put maupun out put. Dalam proses in put untuk mencapai sistim politik dua hal yang perlu diberi perhatian yakni tuntutan dan dukungan. Dari sistim politik itu kemudian lahir keputusan atau kebijaksanaan yang merupakan out put. Dalam konteks dukungan, dari tiga obyek dukungan yang diberikannya.[6]

Easton melihat bahwa sistim politik diharapkan mampu menyelesaikan tuntutan yang masuk ke dalamnya, bukan hanya anggota sistim politik tersebut yang harus bersama-sama bertujuan menyelesaikan konflik dan sepakat untuk mendukung suatu pemerintah yang menangani tugas-tugas konkrit yang muncul, melalui perundingan-perundingan untuk menyelesaikan konflik.

Pemerintah akan memperoleh dukungan jika pemerintah mampu mengambil keputusan yang selaras dengan tuntutan. Tentu saja pemerintah bisa memperoleh dukungan dengan berbagai cara yakni melalui bujukan, persetujuan ataupun manipulasi. Penggunaan paksaan dapat dilakukan dengan ancaman kekerasan untuk menyesesaikan tuntutan yang kurang pendukung.

“…terdapat suatu aksioma yang cukup dikenal di dalam ilmu politik, yaitu bahwa suatu pemerintahan yang hanya mendasarkan dirinya kepada kekerasan semata-mata maka umurnya tidaklah panjang; pemerintahan seperti itu harus mempertahankan kedudukannya dengan menanamkan pandangan yang menguntungkan bagi tujuannya baik secara jujur, maupun secara licik.[7]

John Stuart Mill tentang kekuasaan, para teoritisi institusional setidaknya menggariskan dua hal, yakni bahwa 1) kekuasaan terutama perorangan, digunakan melalui kerja sama dank arena itu saling menguntungkan bagi yang berkuasa dan yang dikuasai. 2) Kekuasaan yang dimiliki pemerintah itu punya maksud tujuan, suka menolong, menegahi dan melunakkan. Gabungan antara lembaga-lembaga yang memegang hak dengan prinsip-prinsip ini akan menghasilkan prinsip kebijakan ala Aristoteles yang memaksimumkan kebebasan.[8]



[1] Samuel P.Huntington, Tertib Politik Di Tengah Pergeseran masa, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, Hal 11.

[2] Samuel P.Huntington, Tertib Politik Di Tengah Pergeseran masa, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, Hal 11.

[3] Neera Chandoke, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, Institut Tagsir Wacana, 2001, hal 2

[4] Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992, p.42-43

[5] ibid, lih. Neera Chandooke, hal. 4

[6] David Easton, Analisis Sistem Politik dalam Mochtar Masoed – Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2001, hal. 41

[7] Ibid, Lih. David Easton, hal 44 - 45

[8] David E Apter, Pengantar Analisis Politik, Yogyakarta, CV Rajawali – Yayasan Solidaritas Gadjah Mada, 1988, hal 6-7

FHILOSOPHY DEMOKRASI DUNIA

TRANSPARANSI DEMOKRASI DUNIA.

Sistim korelasi peradapan dengan tahun masehi memiliki substansi yang sederhana dalam bentuk komunitas manusia. Maupun eksitensi science dan tekhnologi. Signifikansi peradapan yang ditetapkan dari sekala waktu inipun masih terbuka ruang penafsiran dalam sejarah peradapan manusia. Peradapan agama samawi yang memiliki ciri dari inovasi al -kitab membentuk logika yang datang nya dari beberapa aspek eksitensi religius yang berbeda 9 Islam, nasrani dan yahudi.). Atau dapat dianologikan deng perbedaan peradapan zabur, taurat, injil dan alqur’an .


Aspek waktu yang terbentuk pun masing-masing memiliki tingkat rasionalitas dan transparansi yang berbeda. Dengan kemampuan untuk mengelominir peradapan yang ditetapkan dengan standard science dan teknologi memiliki rasio empiris yang optimal. Sedangkan penjabaran eksitensi wahyu atau eksitensi firman Allah Swt dalam generalisasi Al Qur’an dapat mereinterprestasi logika peradapan yang terdapat diujung peradapan manusia yaitu pada tahun 574 M atau 1 Hijriah. Interprestasi ini menggunakan sistem sequential ( berjalan [pada waktu] ) yang ditetapkan oleh peradapan agama-agama samawi dengan bentuk yang dinamis. Dalam generalisasi al qur’an pandangan yang menunjukan pengaruh terhadap rasionalitas wahyu dan atau firman Allah SWT terbentuk menuju dari arah kesempurnaan peradapan yang terdapat di penghujung zaman. Peradapan ISLAM YANG DIBENTUK DARI FAKULTAS KENABIAN MUHAMAD SAW terjadi dihari interprestasi makna peradapan yang sebenarnya telah terjadi pada ke 25 rasul atau nabi pasca kenabian Muhamad SAW.

Pandangan generalisasi Al Qur’an telah membentuk sistim nilai yang maju dari peradapan transpalasi nilai : yang kemudian baik secara langsung ( Direct ) maupun tidak langsung ( un direct) terhadap fakultas kenabian Muhamad SAW. Dalam gagasan ini ditetapkan oleh Herman soewandi yang mensinyalir dengan menyebutkan “ setiap ada nabi yang diturunkan, ia memberikan misi dari Tuhan agar para manusia berdiri diatas moralitas yang digariskan oleh nya. Hal ini terjadi terus begitu yang berjalan atas 25 rasul / nabi sampai yang terakhir adalah Nabi Muhamad Saw. *1.

Pengaruh-pengaruh peradapan yang memberikan pandangan kemajuan atau sosialisasi kehidupan yang dapat menunjukan terbentuknya transparansi demokrasi dunia telah terjadi sangat kompleks. Berbeda dengan pola sistim inovasi kitab suci pada sisi lain unsur compleksitas dari filsafat eimanan baik pada generasi romawi kuno, romawi, bar-bar dll telah menetapkan sub sistim yang sangat berarti untuk menunjukan terbentuknya transparansi kehidupan peradapan demokrasi scara sosilogis. Dengan filosofi Socrates, aritoteles, plato, decrates, kaum sophi dan stoick yang tatanan masyarakat telah terbentuk. Dalam sistim kerajaan, ke kaiseran, yaiu kaser romawi, kerajaan yunani, cina hamurabi, adalah momentum empirical yang sangat berarti dalam perdebatan science demokrasi dunia.

Perkembangan fenomena peradapan memberi bentuk terhadap makna dan fungsi demokrasi. Fenomena lain dimaksud untuk memberikan perbandingan dalam skala sistim demokrasi Islam yang berkembang pada abad 1 hijriah atau 574 M. Demokrasi islam yang digeneralisasikan dalam al qur’an dan merupakan transformatif nilai; dapat ditentukan dari ilmu demokrasi islam, iman demokrasi islam, akhlak demokrasi islam secara ideal.Gambaran ini dapat ditelan dengan mengemukakan descriftif seperti pemikiran Socrates “ Socrates adalah maestro human raigh yang sekaligus filosof termasur dizamannya dan untuk pertama kali direkap dalam sejarah peradapan manusia.” Socrates hidup ditahun 450 sebelum masehi dengan alur pemikiran teori-teori demokrasi masih dipandang actual dalam science moderen. Yang masih mengilhami para pemikir dan filosof dijaman ini. *2

Prediksi transpansi demokrasi dunia saat ini diletakan kedalam pemikiran peradapan religius yang tertinggi. Dengan membentuk sistim filosophy dari peradapan agama samawi masing-masing. Atau dapat disebut pengelompokan demokrasi yang mencirikan nilai-nilai agama samawi bermakna.. Komunitas masyarakat dalam kepatuhan yang bercermin dari ketaatan terhadap nilai-nilai kitab suci dan rasionalitas kenabian yang dibawah oleh masing-masing rasul dan nabi secara generik. Pembentukan demokrasi yang jauh berbeda makna dengan sistim nilai teoritis dari keberadan law of improvicment ( human right ). Demokrasi yang menjadi indikator tumbuhnya sistem kesejahteraan masyarakat ( komunitas masing-masing ). Bentuk-bentuk ini digolongkan sebagai filosophy dasar demokrasi atau disebut dengan demokrasi murni. Pada sisi pandang teoritis, nilai komplementair demokrasi dengan dasar filosophy dan science memiliki hubungan yang sangat erat. Untuk membentuk demokrasi yang dikenal dunia saat ini, fenomena kehidupan manusia atau peradapan manusia menjadi di alektica atau logika demokrasi yang memiliki unusr-unsur dan sifat-sifat yang utama. Yaitu :

a. Implementasi ajaran kitab suci dan fakultas kenabian.

b. Tatanan law of improvicement ( human right, equaliti befor the law. )

c. Perjalanan demokerasi dengan matriks dan filosophy dan science.

Implementasi ajaran kitab suci dan fakultas kenabian

Bentuk masyarakat dunia yang terbentuk dari sepectrum agama samawi, mensakralkan sistim nilai yang diletakan pada eksistensi kitab suci dan logika para rasul dan nabi. Dengan menjadikan kenabian adam sebagai bentuk awal dari atanan masyarakat dunia. Determinasi kehidupan nabi Adam As. Yang telah menjatuhkan cintanya kepada Siti hawa diactualisasi baik secara ilmiah dan ritual sebagai manusia yang pertama hidup diatas dunia. Interprestasi ini ditetapkan dalam kitab suci al qur’an dengan mensinyalir makna yang signifikan dari fungsi kenabian Adam AS dalam sendi pokok demokrasi Islam dengan sebutan sebagai Kalifah Filardy atau The frist man supermacy of earth. Atau kesempurnaan supermasi manusia pertama didunia. Yang dijelaskan oleh Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 35 dan 36 .

Yang artinya: Dan kami berfirman, HAI ADAM AS DIAM LAH OLEH KAMU DAN ISTRIMU SURGA INI DAN MAKAN LAH. MAKAN -- MAKANAN YANG BANYAK LAGI BAIK DIMANA SAJA YANG KAMU SUKAI DAN JANGANLAH KAMU DEKATI POHON INI . Yang menyebabkan kamu menjadi orang-orang yang dholim lalu keduanya digelicirkan oleh syaietan dari surga. Dan dikeluarkan dalam keadaan semula. Dan kami berfirman turunlah kamu sebagian kamu menjadi musuh yang lain dan dan bagi kamu adalah tempat kediaman dibumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. . *3 Komunitas nabiyullah Adam A.S. yang sederhana ini memiliki arti yang penting dalam perdebatan manusia dengan beraneka ragam empiris. Suatu bentuk yang meletakan nilai sentral dari aplikasi kehidupan yang menyatu dengan alam konsiderantia. Untuk menjabarkan komunitas dari kehidupan manusia pertama didunia ini. Artinya meletakkan kemampuan peradapan dari logica sciensce dan teknologia yang bereksisensi pada wahyu dan firman Allah SWT. Suatu keseragaman yang dianut bersama-sama dari nilai gama-agama sama secara homogen. Para kelompok ahli menjelaskan bahwa makna-makna teoritis dimaksud dengan telah sbb : Setelah nabi adam as , orang mengenal nabiyullah syaits AS yang menurut riwayat ia adalah cucu adam, ia telah menerima beberapa suhuf yang dikenal dengan nama suhuf syait as. Disusul dengan keturunannya yaitu nabi Idris AS kemudian datanglah nabi Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim. Luth, Ismail, Ishak AS, Yusuf, Sueb dan Musa As.*3

Karakter fakultas kenabian dan rasul menjadi fenomena perkembangan dan pertumbuhan komunitas kedalam tata nilai progresif. Dengan konsekwensi yang tergantung pada sifat dan ciri eksistensi wahyu dan rasionalitas dari fakultas kenabian dan rasul. Kemudian menjadi dogma yang berinteraksi pada dimensi ruang dan waktu dengan membentuk nilai-nilai masyarakat kedalam sub sistim yang kompleks dann besifat mencerminkan peradapan manusia religius. Didalam al qur’an surat an nahl ayat 36 Allah befirman :


Yang artinya : Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul dan tiap-tiap ummat manusia untuk menyerukan sembahlah Allah SWT dan jauhilah tingkah itu. Maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan-nya, maka bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan rasul-rasul. Bentuk transparansi demokrasi pada fakultas kenabian dan rasul, memiliki horison yang luas dan berciri peradaban pada masing-masing komunitas jenis ini, terletak pada ethos , ethika kepatuhan pada self institusionalism zat allah swt. Daya lentur ethika kepatuhan komunitas terhadap demokrasi tertentu akan menjadi tolok ukur daya tahan sistim nilai demokrasi dunia secara historis.

Paradigma yang dapat diketengahkan dalam komunitas ini disebut dengan demokrasi komunitas para nabi dan rasul dan transparansi demokrasi yang nampak dialogis yaitu demokrasi para nabi dan rasul sebelum fakultas kenabian Muhamad SAW. Bentuk demokrasi para nabi dan rasul sebelum nabi Muhamad SAW yang dimaksud adalah demokrasi komplementar. Oleh karena dari demokrasi Islam yang terbentuk dari sinyalelemen al-qur’an dengan facultas kenabian Muhamad SAW telah mencakupi dimensi demokrasi para rasul dan nabi sebagai sub-sub demokrasi yang menjadi perumpamaan dan contoh dari eksistensi wahyu dan firman yang diterima oleh Facultas Kenabian Muhamad SAW.



*1 HERMAN soewardi “ Nalar Kontemplasi dan realita, Bandung 1998. Hal 243.

*2 KOLONEL Superinteden DR. Anton Tabah” Catatn harian seorang Polisi, 1994. hal.

*3 Al Qur’an dan terjemahan hal 14.

Rabu, 03 Juni 2009

Dari UU Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasa l6 menyatakan bahwa, Pemerintah bertugas untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Pasal 11 ayat 2 menyatakan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan didukung oleh sumber daya kesehatan, pada pasal 49 dijelaskan sumber daya kesehatan tersebut diantaranya adalah tenaga kesehatan dan sarana kesehatan, dan 56 diyatakan bahwa sarana kesehatan tersebut diantaranya adalah sekolah, akademi kesehatan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta.[1]

Kekuatan Pemerintah (Depdiknakes) dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan, dimunculkan dengan berbagai kebijakan dalam mengeluarkan ijin dan membuat berbagai program pendidikan bagi tenaga kesehatan.

Sehingga terjadi dualisme pengelolaan dalam lembaga-lembaga pendidikan tenaga kesehatan, yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Kesehatan diberi nama POLTEKKES sedangkan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional diberi nama NONPOLTEKES.

Permasalahan kemudian menjadi berkembang saat kebutuhan untuk memperoleh pendidikan tinggi tidak tertahankan, era golalisasi, tuntutan profesionalisme dan standart pendidikan profesi, menyebabkan perlunya diadakan pendidikan tinggi setingkat sarjana (strata satu)

Sementara Departemen Kesehatan tidak memiliki peluang untuk mendirikan program pendidikan tersebut. Melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 222/U/1998, Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Semua bentuk pendidikan sarjana hanya dikelola oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Alhasil, Departemen Kesehatan melalui Drs. H. Moch. Hasan SKM. M.Kes sebagai kepala bidang Pendidikan Khusus Nakes dan Akreditasi Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan pada hari Senin, 14 Desember 2004, mengadakan pertemuan untuk membahas tentang rencana penyelengaraan pendidikan Diploma IV tenaga kesehatan yang terdiri dari:

1. Diploma IV Bidan pendidik pada:

a. Program Studi Kebidanan Poltekkes Bandung

b. Program Studi Kebidanan Poltekkes Padang

c. Program Studi Kebidanan Poltekkes Medan

2. Diploma IV Gizi, pada jurusan Gizi Poltekkes Jogjakarta

3. Diploma IV Keperawatan Medikal Bedah:

a. Program Studi Keperawatan Poltekkes Medan

b. Program Studi Keperawatan Poltekkes Samarinda

c. Program Studi Keperawatan Poltekkes Surakarta

4. Diploma IV Keperawatan Gawat Darurat pada : Program Studi Keperawatan Poltekkes Surakarta. [2]

Diploma IV, merupakan jenjang pendidikan tambahan 1 tahun setelah program Diploma III, yang dirancang oleh Pemerintah, mendapat tentangan keras dari organisasi-organisasi profesi.

Achir Yani S. Hamid, DNSc selaku ketua PPNI, menolak tegas tentang pembentukan Diploma IV ini..

Namun penolakan ini dijawab dengan kebijakan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1192/Menkes/Per/X/2004 tentang persyaratan penyelenggaraan pendidikan, bahwa Direktur, Pudir dan Dosen di lembaga pendidikan D III minimal lulusan D IV.

Kebijakan Pemerintah ini melalui Menteri Kesehatan yang menginginkan adanya Diploma IV di Perawatan juga dimunculkan pada saat pelepasan tenaga perawat ke Kuwait di STIKES Binawan dengan menjelaskan, bahwa perawat sebenarnya tidak memerlukan pendidikan Sarjana.[3]

Dari wawancara dengan Achir Yani juga didapatkan bahwa dalam pembuatan kebijakan mengenai perawat ini juga, ternyata Perawat tidak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan itu sendiri, sehingga hasil yang munculpun dirasa tidak mengakomodasi keinginan perawat, padahal sebagai suatu bentuk pendidikan profesi tentunya program yang dibuat, seharusnyalah memperhatikan kebutuhan perawat itu sendiri.

Founding Fathers Republik Amerika memiliki tiga versi demokrasi yaitu: a) populer, dalam kaitan dengan peraturan tentang orang-orang; b) pluralisme, dalam kaitan dengan kompetisi antara bagian dan golongan berpengaruh; dan c) kelembagaan, dalam kaitan dengan satu set institusi dan prosesnya.[4]

Mekanisme penyelenggaraan program inipun terlihat tidak melibatkan organisasi profesi yang mewakili suara anggotanya, bahkan sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan. Kebijakan ini yang merupakan bentuk revisi dai kebijakan yang lalu (Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 43 tahun 2001 tentang ketentuan pendirian program pendidikan DIII untuk tenaga-tenaga kesehatan), juga tidak menyertakan Departemen Pendidikan Nasional, sebagai penguasa yang sah dalam menyelenggarakan semua program pendidikan nasional.

Banyak pengamat melihat Pemerintah Indonesia belum memiliki political will dalam membantu meningkatkan standard profesi tenaga kesehatan. Sehingga seringkali kebijakan yang dibuat kurang memahami kondisi yang ada di lapangan.

Budi Sampurna, Pakar Hukum Kesehatan dari Universitas Indonesia mengemukakan bahwa setiap profesi pada dasarnya memiliki tiga syarat utama, yaitu kompetensi yang diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif, komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat.[5] Oleh karena itu standart profesi sebagaimana yang ditetapkan adalah setingkat sarjana yang dituntut untuk memandirikan tenaga kesehatan.

Sejarah pendidikan tenaga kesehatan telah membuktikan, bahwa Program pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia, sering sekali tidak mengikuti standard pendidikan internasional.

Berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan telah terjadi di Indonesia, berkaitan dengan masalah kesehatan, mendorong pemerintah Indonesia melakukan banyak manuver program pendidikan tenaga kesehatan, yang terlihat “aneh” dan berbeda dibanding Negara-negara lain.

Program-program pendidikan tenaga kesehatan yang ada di Indonesia banyak dikeluhkan karena tidak mengikuti standard pendidikan Internasional, misalnya tenaga perawat, di luar negeri tidak dikenal program pendidikan tenaga kesehatan yang setingkat High School, di Indonesia SPK (Sekolah Perawat Kesehatan). Pendidikan Bidan di luar negeri (misalkan Australia, Amerika Serikat) hanya diperoleh sebagai suatu program spesialisasi, yang berarti setingkat S2, setelah memperoleh pendidikan dasar perawat setingkat sarjana.

Tetapi Pemerintah di Indonesia telah membuat sekolah bidan yang dapat diperoleh selama dua tahun sesudah high school.

Di awali dengan keberadaan sekolah perawat kesehatan yang lebih deikenal dengan (SPK) yang hanya berbekal pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) anak remaja (umur berkisar 15 tahun) dianggap telah mampu mengikuti program Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang harus menghadapi berbagai kompleksitas permasalahan orang sakit.

Setelah mengikuti pendidikan selama 3 tahun, yang berarti sebanding dengan High School, anak remaja tersebut berhak menjadi perawat. Sementara di Luar negeri pendidikan perawat dimulai setelah menyelesaikan pendidikan High School, dalam arti telah memiliki kemampuan dasar untuk memahami pengetahuan yang lebih kompleks.

Namun dengan banyaknya pertentangan dan komentar dari berbagai pihak, pemerintah tetap “pantang mundur” untuk membatalkan program tersebut.

Permasalahan ini disadari penuh sebagai kesalahan setelah menginjak tahun 1990-an, dengan mulai beraninya banyak lembaga pendidikan tenaga kesehatan yang merasakan perbedaan kemampuan dalam penyerapan ilmu akademik dan kesiapan mental-emosional siswa dalam menghadapi kompleksitas permasalahan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut meskipun diakui menyelenggarakan program pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) hanya setingkat High School namun mereka mensyaratkan calon siswanya untuk memiliki ijasah (Sekolah Menengah Siswa) SMA. Hingga kemudian baru di tahun 2002 program pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) ini secara resmi di tutup. Yang berarti mengakhiri polemic tentang permasalahan perlunya basic pendidikan setingkat High School dalam sekolah profesi tenaga kesehatan.

Kemudian di era 1970-an Menciptakan program pendidikan bidan dengan standart dasar pendidikan lulusan High School / SPK ditambah 1-2 tahun. Sementara di Luar negeri pendidikan bidan (midwifery) merupakan program spesialisasi yang berarti dilaksanakan setelah memiliki dasar akademik setingkat sarjana.

Demikian minimnya background pendidikan yang dimiliki oleh bidan memunculkan banyak sekali permasalahan ketidakmampuan mereka untuk menolong persalinan. Polemik yang berkepanjangan ini disikapi oleh pemerintah dengan menutup sekolah bidan. Sikap pemerintah lebih mengherankan lagi ketika menyikapi masalah kematian ibu bersalin ini, pada saat yang sama Pemerintah malah memberi keluasan pada dukun bersalin dengan programnya pelatihan dukun.

Dukun Bayi dibekali dengan berbagai alat yang sangat sederhana diharapkan dapat mengatasi tingginya kematian ibu hamil dan melahirkan yang disebabkan oleh ketidaktahuan penolong persalinan, dengan sekedar penyuluhan dan pelatihan terhadap dukun yang mayoritas tidak berpendidikan bahkan buta huruf. Pemerintah menyerahkan pertolongan persalinan masyarakatnya kepada mereka.



[1] Data ini diambil dari http:/www.bppsdmk.or.id diakses pada tanggal 9 Juli 2005. mengambil sumber dari Media Pengembangan SDM Kesehatan Vol 1, No 1 Januari 2005, ditulis oleh Drg. Sulistiami, M.Si.

[2] Data ini diambil dari http:/www.bppsdmk.or.id/data/hotnews.php3?id=40 pada tanggal 7 September 2005 ditulis oleh Drs. H. Moch Hasan, SKM Kepala Bidang Pendidikan Khusus Nakes dan Akreditasi Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan.

[4] Birch, Anthony H., The Concept and Theories of Modern Deocracy, London & New York: Roudlege, 2001, Ch.6

[5] Data diambil dari http:/www.sinarharapan.co.id. diakses pada tanggal 28 Juni 2005. Budi Sampurna adalah pakar hokum kesehatan dari Universitas Indonesia, diungkapkan saat symposium keperawatan di RS Husada