Selasa, 28 Juni 2011

Cinta sekejap

Matahari belum cukup terang, saat penanda waktu itu nyaring mengajakku untuk memulai hari. Bukan seperti biasa, hari ini kurasa hari lebih cerah meskipun ngantuk masih enggan pergi memberat di ujung ujung mataku.

Seperti biasa sejenak kuselalu menyempatkan waktu untuk berdoa, namun kali ini kutambahkan doa semoga keindahan ini jangan terhapuskan oleh masa. Cahya, namanya serasa memenuhi benak saya, persapaanya yang indah, senyumnya yang ramah, siapapun mengenalnya sebagai laki laki yang luar biasa, menjadi sangat luar biasa karena semalam dia telah menyatakan cintanya .... Cahya mencintaimu Anti ... kalimat itu berpendar pendar ditelinganya, seakan tak putus putus, mengalun menghangatkan darahnya.

Itulah hari pertama yang selalu dikenangnya, hari dimana Anti mulai masuk kedalam neraka yang seumur hidupnya menjadi penyesalan yang tak terhingga

Minggu, 17 April 2011

Untukmu

Saat pertama katamu kau kirimkan,
sungguh hatiku dipenuhi kemasygulan.
Mungkinkah ini akan kulakukan.
Tak sekali dua kali kusampaikan,

paniknya benakku ...
seluruh keraguan dihatiku ...

... dan Selalu kau katakan,
anggaplah kita membangun dua dunia yang harusnya bisa kita kelola bersisihan.
marilah kita jaga dengan sepenuh pengharapan
dengan kasih sayang yang kita tumpahkan

Kuharap kau ingat kata itu
Kudengar dan masih terrekam katakatamu
Kau akan mencukupkan satu kekasih menemani hidupmu.
Dan kupegang teguh kata katamu.

Tak kukira sungguh semua terjadi begini, seperti ini ...

Tidakkah kau bayangkan nyerinya luka dihatiku ?
Tidakkah kau bayangkan bahwa apa yang kau lakukan pantaskah untukku ?
... balasan atasan semua sayang, dan upayaku
... untuk membangun kebersamaan denganmu

Kau telah tahu, kurancang kau untuk masa depanku
Kau telah tahu, semua sikap dan benakku selalu kutujukan hanya kepadamu
Kau toreh luka yang mengikis, menggigilkan, semua rasa dan pori di tubuhku
... dan terus menerus kau siram garam dan cuka disitu

Aku bukan seorang yang lemah,
bukan juga orang yang tak berdaya
... tapi kuyakin semua,
... siapapun takkan tahan menghadapinya

Sepi, sendiri
aku menatapmu menyapa semua kekasih
Sementara,
apa untukku ?
kau kata sengaja ... untukku sepi
Sepi yang kau cipta untukku ...
Sungguh menenggelamkanku, serasa dalam kuburku
Sepi yang Sungguh sepi.

Bersapapun tak ada lagi.

Kau kata selalu sibuk untukku
Kau kata tak bisa diganggu saat kumerindukanmu

Berjuta kali kukata, kuhanya ingin kewajaran seorang kekasih
Berjuta kali kukata, tak seharusnya begini.

... tapi kutahu, kataku hanyalah angin lalu bagimu

Kasih ... hatikupun bukan terbuat dari batu
Mungkin akupun tak sebersih sangkamu
Mungkin juga aku tak seindah bayangmu
Mungkin aku tak sebaik mimpimu
Mungkin juga aku tak setulus harapmu
Mungkin juga aku tak bisa menyinta seindah kasih-kasihmu

Mungkin dan seribu mungkin,
yang kutak tahu apa yang ada dalam hatimu

Hanya satu yang ingin kukatakan kepadamu

Sungguh Pedih ... yang kurasa kini

Mungkin ini saatNya aku mengadu ...
Kepada Dia yang Maha Tahu ...
Atas semua sikapku,
Atas semua sikapmu ...

Karena kepadaNya kita kembalikan semua urusan

Sabtu, 16 April 2011

MALAM ITU

Cemara itu, jalan itu masih seperti cemara dan jalan berminggu, berbulan atau bahkan bertahun lalu. Hanya cahaya disekelilingnya yang dirasa tidak ramah menyapa. Buku tabungan itu diremas remas hingga lusuh ditangannya, lembab karena airmata yang terus mengalir dari sudut sudut matanya dan darah yang telah membeku di tangannya

“Tuhan, maafkan aku yang tak sempurna.” bisiknya, bibirnya gemetar menahan pilu yang menyayat hatinya …. “Maafkan aku Raka”, sambil matanya melirik ke jenasah suaminya yang bersimbah darah dibelakang jok mobilnya. Dia telah membunuh suami yang dicintainya.

Pilihan yang tak mudah baginya, saat dia memilih Raka sebagai suaminya. Peringatan keras dari sahabat sahabatnya yang tidak setuju, masih jernih diingatnya. Saat dia utarakan bahwa dia telah menerima lamaran Raka. Ada Ani yang memeluknya sambil menangis mengiba untuk membatalkannya, dan Lusi yang sampai berhari hari mendiamkannya, karena marah atas pilihannya. “Saya sudah bicara panjang lebar dengan Raka, dan saya rasa Raka akan berubah bersama saya. Ijinkan saya mencari pahala sebesar besarnya nantinya. Tolong dukung saya, ijinkan saya menikah dengannya” katanya mantap meyakinkan kedua teman karibnya.

Raka, siapa yang tak mengenal dia ? cowok tampan yang popular dan selalu menjadi pembicaraan gadis gadis dikampusnya. Ada yang melihatnya dari sisi positif namun tak sedikit juga yang menyibir sinis. Hampir di setiap bulan berganti, berganti juga gadis yang dipacari. Menjadi sangat luar biasa, jika kemudian ternyata antara pacar yang satu dengan lainnya terlihat ramah saling menyapa. Bahkan tak jarang Raka berdiri diantara banyak pacar pacarnya sambil bersenda gurau bersama.

Rahmah, Ani dan Lusi sering membicarakan mereka, sambil menggeleng geleng tak mengerti atas semua yang terjadi.

“Biarlah, asal dia tidak mengganggu kita dan kita tak perlu mengusik dia dan pasukannya.” Selalu itu yang disampaikan Rahmah, saat Ani dan Lusi menceritakan rasa jengkelnya atas sikap Raka dan gadis gadisnya, yang menurutnya semua sakit jiwa. \

“Yang satu bangga dengan ke-Aku-annya, sementara yang lain pemburu cinta yang sudah buta matanya.” Kata Lusi sinis,

“Iya, kalau mereka tidak saling mengenal, mereka satu kampus. Masa sih tidak pernah tahu tentang Raka ?” keras suara Ani menimpali.

“Sudahlah, biarkan saja” Rahmah memangkas kata.

Ani dan Lusi, sama sekali tidak tahu, saat kemudian Rakapun mulai mendekati Rahmah. Sms Raka yang gencar merayunya, menyadarkan dia betapa hebatnya Raka dalam mendekati gadis gadisnya. Kepadanya dia sampaikan bahwa dia adalah satu satunya kekasihnya, dan yakinlah meskipun banyak gadis bersama saya, hanya engkau cintaku satu satunya.

“Mari kita kelola hubungan ini diam diam tanpa perlu diumumkan bukan ? atau kau mau kita umumkan ?” Tanya Raka menantang

“Jangan” jawab Rahmah, sambil teringat betapa bencinya sahabat sahabat karibnya terhadap Raka. Apa kata mereka, bisiknya dalam hati.

Begitulah, waktu berlalu dengan minim bertemu, mereka berpacaran. Meskipun terlihat Raka masih dengan banyak “pasukan”nya, dia percaya bahwa cinta Raka hanya untuknya.

Saat kemudian mereka menikah, ternyata hanya setahun Raka terlihat baik dan berubah, secara kebetulan Rahmah lebih mudah mendapat pekerjaan dan Raka tidak memperolehnya. Namun Rahmah tidak pernah mempermasalahkan, baginya keberadaan Raka disisinya, cintanya, perhatiannya, cukup baginya untuk terus melangkah bersama. Keberadaan Raka memang bersamanya, tapi kembali dia harus menerima kenyataan, Raka tak berubah, Raka mulai kembali membangun “pasukan” seperti saat dia kuliah, banyak gadis yang lalu lalang mampir dikehidupannya. Pernah dia mempertanyakan kesetiaannya, bukan jawaban yang dia peroleh, Kemarahan besar yang dia dapatkan.

Kecewa, sedih yang terus menerus menghantamnya, membuat dia benar benar datar, tak lagi ada cemburu, suka, cinta lagi terhadap suaminya. Dia tak peduli lagi dengan banyaknya “pasukan” yang dibangun Raka.

Hingga dua bulan ini, Raka mulai terlihat berbeda, dengan berbagai alasan meminta Rahmah terus menerus menarik tabungannya. Sebagai bentuk kasih sayang baginya tak apa. Dia ikhlas memberikannya. Hingga saat Raka meminta kembali uang dengan alasan ingin membangun bisnisnya, berharap kesuksesannya, tanpa sepengetahuan Raka, dia menjual kalung warisan ibunya. Semoga uang ini berkah untuknya. Dilihatnya kalung yang hanya tinggal satu satunya itu dengan pandangan sedih dan berlinang air mata, dielusnya, diciuminya, dengan nyeri yang tertahan dihatinya. “Ibu, kumohonkan ijinmu, ini untuk kebaikan Raka, bu” bisiknya pilu. Diserahkan uang itu dengan seribu doa “sukseslah Raka, aku tahu kau tertekan dengan kondisimu, semoga dengan keberhasilanmu, kau akan berubah menjadi Raka seperti janji janjimu”

Hari berganti, dan bagai tersengat dia saat kemudian dia tahu Raka dihari yang sama itu, telah mendekati gadis lain lagi. Dengan degup cemas dia mencoba mencari informasi, apakah Raka juga meminta uang kepada gadis tersebut ? Apakah uang penjualan kalung yang telah diberikannya, sesungguhnya tidak cukup ? kenapa Raka tidak menyampaikannya ? kenapa dia harus mendekati gadis lainnya ? saya istrinya, apapun akan saya lakukan untuk Raka, jika dia memang membutuhkannya. Penuh benaknya dengan tanda tanya, rasa sesal karena tidak mampu “mencukupkannya”. Ternyata, tidak Raka bahkan banyak menawarkan pemberian ke gadis itu … jawaban yang sungguh diluar perkiraanya. Satu persatu dia tersadar, dia telah memenuhi banyak permintaan Raka agar Raka dapat memberi kepada gadis gadisnya, bertelphone, membagi perhatian, semuanya.

Air matanya bercucuran tak tertahankan, marah, kecewa membuatnya lupa kendali kepatutan yang ditekankan Raka terhadapnya, sudah tak dipeduli. Mengeras hatinya.

Pertengkaran hebat diantara keduanya, menjadikan hari yang takkan terlupakan.

Malam itu juga Rahmah dengan gemetar telah membunuh Raka dengan tangannya, disaat Raka tertidur, pisau tajam yang telah dipersiapkannya menancap persis ke ulu hati tubuh Raka. Muncratnya darah, membasahi wajahnya. Air mata dan darah menyatu dipipinya, mengalir memenuhi seluruh tubuhnya. Rakapun bersimbah darah,

Direngkuhnya Raka dalam peluknya, diciuminya wajah Raka yang begitu dipujanya, dikecupnya mata tajam yang perlahan meredup, dikecupnya bibir indah yang dulu sangat dirindukannya … Rahmah menangis, merintih dengan berderai derai air mata, “aku mencintaimu Raka, aku mencintaimu … kau tahu itu bukan ? sudah sangat lelah aku melihatmu terus bergumul dengan gadis gadismu, aku sudah sangat lelah diamuk rasa cemburu dihatiku, meskipun kau kata cintamu hanya untukku, tapi kau terus menebar panah asmaramu ke mereka … jika kemudian aku akhiri hidupmu, kuberharap kau tidak lagi bisa menyakiti hati siapapun, dan akupun ingin berhenti dari rasa sedihku…aku lelah Raka, aku lelah, aku sudah letakkan kepalaku untukmu, aku sudah pasrahkan cinta dan kehidupanku untuk kita, aku sudah lakukan semuanya Raka, semuanya … untuk cinta kita” tangisnya pilu sambil memeluk erat tubuh Raka yang semakin lemas.


Bekasi, 17 April 2011