Sabtu, 20 Juni 2009

Pemerintah Sebagai Penyelenggara Negara

Samuel Huntington terkait dengan peran masyarakat berhadapan dengan Negara, melihat bahwa tingkat kesatuan politik yang dapat dicapai oleh masyarakat mencermikan kaitan antara lembaga politik dan kekuatan-kekuatan social yang membentuknya. Kekuatan social ialah kelompok etnis, keagamaan, teritorian, ekonomis atau status. [1]

Negara sebagai suatu organisasi politik merupakan suatu sarana peraturan untuk mempertahankan tahta, menyelesaikan perselisihan, memilih tokoh-tokoh pimpinan yang memiliki wibawa, dengan tujuan menciptakan persatuan diantara dua kekuatan social atau lebih.[2]

Dua kelompok yang saling memandang kelompok lain sebagai musuh besar tidak mungkin dapat membentuk konsensus. Oleh karena itu di dalam suatu masyarakat yang kompleks kekuatan dan ruang lingkup lembaga-lembaga politik yang ada sangat mempengaruhi perilaku konsensus moral dan kepentingan timbal balik.

Kehadiran pranata politik yang berwibawa akan membantu masyarakat sanggup menentukan dan merealisir kepentingan mereka, dengan dasar moral masyarat dengan pranata politik yang lemah tidak akan mempunyai kemampuan mengendalikan tuntutan pribadi dan kelompok lain yang sangat berlebihan.

Politik sering dipersangkakan sebagai suatu kata yang “kotor”, dan sering diasosiasikan dengan perilaku-perilaku buruk dari para politisi. Perilaku itu sering dilihat sebagai usaha untuk memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan umum, dengan berbagai manipulasi. Pengertian politik yang demikian itu telah mereduksi pengertian politik itu sendiri. Sebab sesungguhnya, pengertian politik secara teoritik bukan demikian.

Untuk memahami bahwa Negara adalah lebih dari pemerintah, berdasarkan pada kenyataan bahwa Negara mencoba untuk mengontrol membatasi praktek politik masyarakat dengan membangun peraturan politik. Dengan kata lain Negara berusaha mengangkat wacana politik politik resmi.[3] Sehingga tidak ada pihak orang yang secara lepas bebas dapat menghidarkan diri dari kekuasaan yang dimiliki oleh negara.

Kejadian yang sering muncul adalah kondisi bagaimana pemerintah sebagai sebuah institusi negara paling tinggi mengambil kebijakan dalam mengelola permasalahan masyarakat.

Dari kamus “Demokrasi” berarti peraturan tentang orang-orang, dengan seketika muncul permasalahan dalam bagaimana? di dalam terminologi praktis, untuk menggambarkan orang-orang dan bagaimana cara menggambarkan arti dari aturan. orang-orang berarti keseluruhan populasi orang dewasa, atau hanya mereka yang menguasai properti cukup, berarti wanita-wanita dikeluarkan dari monopoli.

Sehingga dapat dipastikan sebuah negara yang dibentuk melalui proses demokrasi sekalipun tetap akan dapat menumbuhkan penindas – penindas baru. Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi pemerintah menuntut loyalitas, dukungan atau kewajiban untuk mematuhi hukum-hukumnya.[4]

Membaca tulisan Iris Marion Young yang menyatakan bahwa pada dasarnya gerakan emansipatory adalah sebuah gerakan yang positif dari kelompok-kelompok yang berbeda, Young menegaskan bahwa budaya demokrasi yang pluralis adalah adanya sebuah pembebasan. Artinya, secara kualitas, kelompok social dan kelompok budaya yang berbeda bebas dalam menentukan sikap, bebas untuk mendapatkan pengakuan, dan dapat saling menghormati satu sama lain tapi tetap bersatu dalam sebuah Perbedaan.

Pemerintah pusat dimengerti disini sebagai penyelenggara negara yang dipercaya sebagai pengambil kebijakan paling tinggi dalam mengelola dan mengambil kebijakan dalam seluruh wilayah sebuan negara. Oleh karena itu kebijakan yang diambil oleh pemerintah berarti kebijakan negara.

Negara berada di lapisan tertinggi yang memiliki cirri mampu memaksa terhadap masyarakat. Masyarakat dimaksud adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.

Legitimasi Negara akan terus berlangsung selama masyarakat politik dapat menerima batas-batas yang ditentukan Negara. Pelanggaran dan penarikan kembali batas-batas yang ada mengakibatkan pecahnya biografi politik masyarakat. Perpecahan ini lebih lanjut akan berakibat ditinjaunya kembali agenda yang ditetapkan Negara atau membuat Negara menjadi tidak relevan.[5]

Untuk sampai pada sebuah keputusan atau perundang-undangan dibutuhkan sebuah proses. David Easton membedakan bahwa dalam proses terdapat wilayah in put maupun out put. Dalam proses in put untuk mencapai sistim politik dua hal yang perlu diberi perhatian yakni tuntutan dan dukungan. Dari sistim politik itu kemudian lahir keputusan atau kebijaksanaan yang merupakan out put. Dalam konteks dukungan, dari tiga obyek dukungan yang diberikannya.[6]

Easton melihat bahwa sistim politik diharapkan mampu menyelesaikan tuntutan yang masuk ke dalamnya, bukan hanya anggota sistim politik tersebut yang harus bersama-sama bertujuan menyelesaikan konflik dan sepakat untuk mendukung suatu pemerintah yang menangani tugas-tugas konkrit yang muncul, melalui perundingan-perundingan untuk menyelesaikan konflik.

Pemerintah akan memperoleh dukungan jika pemerintah mampu mengambil keputusan yang selaras dengan tuntutan. Tentu saja pemerintah bisa memperoleh dukungan dengan berbagai cara yakni melalui bujukan, persetujuan ataupun manipulasi. Penggunaan paksaan dapat dilakukan dengan ancaman kekerasan untuk menyesesaikan tuntutan yang kurang pendukung.

“…terdapat suatu aksioma yang cukup dikenal di dalam ilmu politik, yaitu bahwa suatu pemerintahan yang hanya mendasarkan dirinya kepada kekerasan semata-mata maka umurnya tidaklah panjang; pemerintahan seperti itu harus mempertahankan kedudukannya dengan menanamkan pandangan yang menguntungkan bagi tujuannya baik secara jujur, maupun secara licik.[7]

John Stuart Mill tentang kekuasaan, para teoritisi institusional setidaknya menggariskan dua hal, yakni bahwa 1) kekuasaan terutama perorangan, digunakan melalui kerja sama dank arena itu saling menguntungkan bagi yang berkuasa dan yang dikuasai. 2) Kekuasaan yang dimiliki pemerintah itu punya maksud tujuan, suka menolong, menegahi dan melunakkan. Gabungan antara lembaga-lembaga yang memegang hak dengan prinsip-prinsip ini akan menghasilkan prinsip kebijakan ala Aristoteles yang memaksimumkan kebebasan.[8]



[1] Samuel P.Huntington, Tertib Politik Di Tengah Pergeseran masa, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, Hal 11.

[2] Samuel P.Huntington, Tertib Politik Di Tengah Pergeseran masa, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, Hal 11.

[3] Neera Chandoke, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, Institut Tagsir Wacana, 2001, hal 2

[4] Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992, p.42-43

[5] ibid, lih. Neera Chandooke, hal. 4

[6] David Easton, Analisis Sistem Politik dalam Mochtar Masoed – Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2001, hal. 41

[7] Ibid, Lih. David Easton, hal 44 - 45

[8] David E Apter, Pengantar Analisis Politik, Yogyakarta, CV Rajawali – Yayasan Solidaritas Gadjah Mada, 1988, hal 6-7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar