Rabu, 03 Juni 2009

Dari UU Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasa l6 menyatakan bahwa, Pemerintah bertugas untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Pasal 11 ayat 2 menyatakan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan didukung oleh sumber daya kesehatan, pada pasal 49 dijelaskan sumber daya kesehatan tersebut diantaranya adalah tenaga kesehatan dan sarana kesehatan, dan 56 diyatakan bahwa sarana kesehatan tersebut diantaranya adalah sekolah, akademi kesehatan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta.[1]

Kekuatan Pemerintah (Depdiknakes) dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan, dimunculkan dengan berbagai kebijakan dalam mengeluarkan ijin dan membuat berbagai program pendidikan bagi tenaga kesehatan.

Sehingga terjadi dualisme pengelolaan dalam lembaga-lembaga pendidikan tenaga kesehatan, yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Kesehatan diberi nama POLTEKKES sedangkan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional diberi nama NONPOLTEKES.

Permasalahan kemudian menjadi berkembang saat kebutuhan untuk memperoleh pendidikan tinggi tidak tertahankan, era golalisasi, tuntutan profesionalisme dan standart pendidikan profesi, menyebabkan perlunya diadakan pendidikan tinggi setingkat sarjana (strata satu)

Sementara Departemen Kesehatan tidak memiliki peluang untuk mendirikan program pendidikan tersebut. Melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 222/U/1998, Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Semua bentuk pendidikan sarjana hanya dikelola oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Alhasil, Departemen Kesehatan melalui Drs. H. Moch. Hasan SKM. M.Kes sebagai kepala bidang Pendidikan Khusus Nakes dan Akreditasi Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan pada hari Senin, 14 Desember 2004, mengadakan pertemuan untuk membahas tentang rencana penyelengaraan pendidikan Diploma IV tenaga kesehatan yang terdiri dari:

1. Diploma IV Bidan pendidik pada:

a. Program Studi Kebidanan Poltekkes Bandung

b. Program Studi Kebidanan Poltekkes Padang

c. Program Studi Kebidanan Poltekkes Medan

2. Diploma IV Gizi, pada jurusan Gizi Poltekkes Jogjakarta

3. Diploma IV Keperawatan Medikal Bedah:

a. Program Studi Keperawatan Poltekkes Medan

b. Program Studi Keperawatan Poltekkes Samarinda

c. Program Studi Keperawatan Poltekkes Surakarta

4. Diploma IV Keperawatan Gawat Darurat pada : Program Studi Keperawatan Poltekkes Surakarta. [2]

Diploma IV, merupakan jenjang pendidikan tambahan 1 tahun setelah program Diploma III, yang dirancang oleh Pemerintah, mendapat tentangan keras dari organisasi-organisasi profesi.

Achir Yani S. Hamid, DNSc selaku ketua PPNI, menolak tegas tentang pembentukan Diploma IV ini..

Namun penolakan ini dijawab dengan kebijakan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1192/Menkes/Per/X/2004 tentang persyaratan penyelenggaraan pendidikan, bahwa Direktur, Pudir dan Dosen di lembaga pendidikan D III minimal lulusan D IV.

Kebijakan Pemerintah ini melalui Menteri Kesehatan yang menginginkan adanya Diploma IV di Perawatan juga dimunculkan pada saat pelepasan tenaga perawat ke Kuwait di STIKES Binawan dengan menjelaskan, bahwa perawat sebenarnya tidak memerlukan pendidikan Sarjana.[3]

Dari wawancara dengan Achir Yani juga didapatkan bahwa dalam pembuatan kebijakan mengenai perawat ini juga, ternyata Perawat tidak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan itu sendiri, sehingga hasil yang munculpun dirasa tidak mengakomodasi keinginan perawat, padahal sebagai suatu bentuk pendidikan profesi tentunya program yang dibuat, seharusnyalah memperhatikan kebutuhan perawat itu sendiri.

Founding Fathers Republik Amerika memiliki tiga versi demokrasi yaitu: a) populer, dalam kaitan dengan peraturan tentang orang-orang; b) pluralisme, dalam kaitan dengan kompetisi antara bagian dan golongan berpengaruh; dan c) kelembagaan, dalam kaitan dengan satu set institusi dan prosesnya.[4]

Mekanisme penyelenggaraan program inipun terlihat tidak melibatkan organisasi profesi yang mewakili suara anggotanya, bahkan sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan. Kebijakan ini yang merupakan bentuk revisi dai kebijakan yang lalu (Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 43 tahun 2001 tentang ketentuan pendirian program pendidikan DIII untuk tenaga-tenaga kesehatan), juga tidak menyertakan Departemen Pendidikan Nasional, sebagai penguasa yang sah dalam menyelenggarakan semua program pendidikan nasional.

Banyak pengamat melihat Pemerintah Indonesia belum memiliki political will dalam membantu meningkatkan standard profesi tenaga kesehatan. Sehingga seringkali kebijakan yang dibuat kurang memahami kondisi yang ada di lapangan.

Budi Sampurna, Pakar Hukum Kesehatan dari Universitas Indonesia mengemukakan bahwa setiap profesi pada dasarnya memiliki tiga syarat utama, yaitu kompetensi yang diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif, komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat.[5] Oleh karena itu standart profesi sebagaimana yang ditetapkan adalah setingkat sarjana yang dituntut untuk memandirikan tenaga kesehatan.

Sejarah pendidikan tenaga kesehatan telah membuktikan, bahwa Program pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia, sering sekali tidak mengikuti standard pendidikan internasional.

Berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan telah terjadi di Indonesia, berkaitan dengan masalah kesehatan, mendorong pemerintah Indonesia melakukan banyak manuver program pendidikan tenaga kesehatan, yang terlihat “aneh” dan berbeda dibanding Negara-negara lain.

Program-program pendidikan tenaga kesehatan yang ada di Indonesia banyak dikeluhkan karena tidak mengikuti standard pendidikan Internasional, misalnya tenaga perawat, di luar negeri tidak dikenal program pendidikan tenaga kesehatan yang setingkat High School, di Indonesia SPK (Sekolah Perawat Kesehatan). Pendidikan Bidan di luar negeri (misalkan Australia, Amerika Serikat) hanya diperoleh sebagai suatu program spesialisasi, yang berarti setingkat S2, setelah memperoleh pendidikan dasar perawat setingkat sarjana.

Tetapi Pemerintah di Indonesia telah membuat sekolah bidan yang dapat diperoleh selama dua tahun sesudah high school.

Di awali dengan keberadaan sekolah perawat kesehatan yang lebih deikenal dengan (SPK) yang hanya berbekal pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) anak remaja (umur berkisar 15 tahun) dianggap telah mampu mengikuti program Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang harus menghadapi berbagai kompleksitas permasalahan orang sakit.

Setelah mengikuti pendidikan selama 3 tahun, yang berarti sebanding dengan High School, anak remaja tersebut berhak menjadi perawat. Sementara di Luar negeri pendidikan perawat dimulai setelah menyelesaikan pendidikan High School, dalam arti telah memiliki kemampuan dasar untuk memahami pengetahuan yang lebih kompleks.

Namun dengan banyaknya pertentangan dan komentar dari berbagai pihak, pemerintah tetap “pantang mundur” untuk membatalkan program tersebut.

Permasalahan ini disadari penuh sebagai kesalahan setelah menginjak tahun 1990-an, dengan mulai beraninya banyak lembaga pendidikan tenaga kesehatan yang merasakan perbedaan kemampuan dalam penyerapan ilmu akademik dan kesiapan mental-emosional siswa dalam menghadapi kompleksitas permasalahan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut meskipun diakui menyelenggarakan program pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) hanya setingkat High School namun mereka mensyaratkan calon siswanya untuk memiliki ijasah (Sekolah Menengah Siswa) SMA. Hingga kemudian baru di tahun 2002 program pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) ini secara resmi di tutup. Yang berarti mengakhiri polemic tentang permasalahan perlunya basic pendidikan setingkat High School dalam sekolah profesi tenaga kesehatan.

Kemudian di era 1970-an Menciptakan program pendidikan bidan dengan standart dasar pendidikan lulusan High School / SPK ditambah 1-2 tahun. Sementara di Luar negeri pendidikan bidan (midwifery) merupakan program spesialisasi yang berarti dilaksanakan setelah memiliki dasar akademik setingkat sarjana.

Demikian minimnya background pendidikan yang dimiliki oleh bidan memunculkan banyak sekali permasalahan ketidakmampuan mereka untuk menolong persalinan. Polemik yang berkepanjangan ini disikapi oleh pemerintah dengan menutup sekolah bidan. Sikap pemerintah lebih mengherankan lagi ketika menyikapi masalah kematian ibu bersalin ini, pada saat yang sama Pemerintah malah memberi keluasan pada dukun bersalin dengan programnya pelatihan dukun.

Dukun Bayi dibekali dengan berbagai alat yang sangat sederhana diharapkan dapat mengatasi tingginya kematian ibu hamil dan melahirkan yang disebabkan oleh ketidaktahuan penolong persalinan, dengan sekedar penyuluhan dan pelatihan terhadap dukun yang mayoritas tidak berpendidikan bahkan buta huruf. Pemerintah menyerahkan pertolongan persalinan masyarakatnya kepada mereka.



[1] Data ini diambil dari http:/www.bppsdmk.or.id diakses pada tanggal 9 Juli 2005. mengambil sumber dari Media Pengembangan SDM Kesehatan Vol 1, No 1 Januari 2005, ditulis oleh Drg. Sulistiami, M.Si.

[2] Data ini diambil dari http:/www.bppsdmk.or.id/data/hotnews.php3?id=40 pada tanggal 7 September 2005 ditulis oleh Drs. H. Moch Hasan, SKM Kepala Bidang Pendidikan Khusus Nakes dan Akreditasi Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan.

[4] Birch, Anthony H., The Concept and Theories of Modern Deocracy, London & New York: Roudlege, 2001, Ch.6

[5] Data diambil dari http:/www.sinarharapan.co.id. diakses pada tanggal 28 Juni 2005. Budi Sampurna adalah pakar hokum kesehatan dari Universitas Indonesia, diungkapkan saat symposium keperawatan di RS Husada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar